“ Celurit Emas ”
Roh – roh bebunga yang lalu sebelum semerbak itu
mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari
jiwa, celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ke-
tika tercium bau tangan
yang
pura – pura mati dalam terang
dan
bergila dalam gelap
ia jadi mengerti : wangi yang menunggunya di se-
berang. Meski ia menyesal namun gelombang masih
ditolak singgah ke dalam dirinya.
nisan – nisan tak bernama bersenyuman karena ce-
lurit itu akan menjadi taring langit, dan mata-
hari akan mengesahkannya pada halaman – halaman ki-
tab suci.
celurit ini punya siapa?
Amin!
(
Zawawi Imron )
Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai
pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah
studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan kita memandang
entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna
(Scholes, 1982: ix). Menurut Charles S. Pierce (1986: 4), maka semiotika tidak
lain sebuah nama lain bagi logika. Sedangkan Ferdinand de Saussure (1966: 16),
semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda,” suatu ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”.
Menurut Riffatere, sebuah teks member peluang bagi
pemaknaan unsur-unsur bahasa yang tidak bermakna seandainya berada di luar teks
(puisi) tersebut. Puisi tidak menyatakan makna puisi secara langsung.
Zaenal
Imron merupakan sastrawan yang lahir di lahir di Batang-batang, Sumenep, Madura.
Dalam karyanya yang berjudul “Celurit Emas” sangat identik dengan latar
belakang masyarakat Madura karena di Madura sangat erat dengan kaitannya
celurit, di sisi lain celurit melambangkan keberanian khususnya kaum laki-laki.
Puisi yang berjudul “Celurit Emas” terdapat beberapa kata yang masih terikat
dengan logat Madura misalnya saja bebunga.
Dari segi pemahaman puisi “Celurit Emas” menurut jenis imajinatifnya ia
tergolong sastra imajinatif maksudnya lebih menekankan penggunaan bahasadalam
artinya konotatif (banyak arti). Sastra
imajinatif lebih bersifat khayali, menggunakan bahasa yang konotatif,
dan memenuhi syarat-syarat estetika seni. Dalam puisi “Celurit Emas” termasuk
jenis puisi yang ekspresif karena menonjolkan ekspresi pribadi penyairnya (sang
penyair berlatar belakang Madura) puisi ini lebih menujukkan makna-makna kata
yang kadang“sulit” dicerna.
Puisi
yang berjudul “Celurit Emas” memiliki gaya bahasa tersendiri yaitu memiliki
gaya bahasa hiperbola yang artinya mengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan
sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal (misal kan roh-roh bebunga
yang lalu sebelum semerbak itu), selain itu memiliki gaya bahasa personifikasi
“ Jiwa, celurit hanya mampu berdiam,tapi
ketika tercium bau tangan...” seolah-olah celurit tersebut memiliki tingkah
laku seperti manusia. Ternyata masih memiliki gaya bahasa yang lain yaitu
Antropomorfisme yaitu metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang
berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia contohnya dalam puisi
ini “ nisan-nisan tak bernama bersenyuman” hal ini menggambarkan bahwa
nisan-nisan ini berhubungan dengan hal yang bukan manusia sedangkan bersenyuman
merupakan hal dari manusia itu sendiri. Dan juga memiliki gaya bahasa ekskalamasio
yaitu ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru ( terdapat pada kata terakhir
“Amin !”).
Puisi
yang berjudul “Celurit Emas” ini banyak
menggunakan arti Makna konotasi. Makna konotasi merupakan makna yang bukan
sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran dan merupakan makna denotasi yang
mengalami penambahan. Dalam puisi “Celurit Emas” dapat ditemukan dalam kalimat
”mengadu kehadapan celurit yang
ditempa dari Jiwa,celurit itu hanya mampu berdiam.tapi ketika tercium bau
tangan...” hal tersebut dapat diartikan bahwa
Celurit pada puisi ini mengandung arti ilmu, yang dimana ditempa dari jiwa
manusia, dan hanya dapat menuruti kehendak “tuannya” yakni seseorang yang
memilliki ilmu, tergantung bagaimana dia menggunakan ilmunya tersebut.
Pada kalimat yang pura – pura mati dalam terang dan bergila dalam gelap memiliki arti-an
bahwa seseorang tersebut berusaha mencuri ilmu pengetahuan yang ada, karena
mencuri atau melakukan perbuatan tidak baik lainnya, hanya bisa dilakukan dalam
kegelapan dan dimana tidak ada seorang pun yang tahu. Atau disaat orang-orang
terlelap kemudian menjadi pengecut atau pura – pura mati dalam
terang.
“Celurit
Emas” sering diartikan memiliki
makna “religius” dalam hal ini terdapat kata Amin dalam akhir puisi, selain itu
dalam kalimat terkhir yang bertuliskan “...karena
celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengesahkan pada
halaman-halaman kitab suci”
memiliki suatu makna yaitu “celurit” dilambangkan bukan sebagai celurit yang
sebenarnya melainkan sebuah pedoman dalam menjalani hidup, tetapi dalam hal ini kitab suci yang dimaksud adalah
buku-buku yang memiliki banyak ilmu pengetahuan.
Dan
ada juga pada kalimat terakhir “celurit itu punya sapa?” seolah-olah celurit
itu hanya sebuah simbol kereligiusan dalam hal ini tersambung dengan kata
terakhir “amin !”. Namun apabila pembaca lebih mencermati apa yang dimaksud puisi ini, bahwa ilmu pengetahuan
bergantung bagaimana kita mengamalkannya. Karena celurit bagaikan pisau bermata
ganda, dimana dekat dengan apa yang disebut “Carok”
dalam bahasa Madura, yang mengandung pengertian negatif, karena dapat
mematikan. Namun di sisi lain, Celurit merupakan budaya khas Madura, dimana
sebagai simbol dalam masyarakatnya karena banyak dirumah-rumah Madura yang
menyimpan Celurit, namun hanya sebagai hiasan dan budaya asli yang harus
dilestarikan nantinya. Karena Celurit memiliki filosofi tersendiri bagi orang
Madura.
Sedangkan maksud dari
kalimat nisan – nisan tak bernama bersenyuman adalah kebodohan yang terlalu dangkal dalam
memahami makna sebuah celurit, yang tadinya hanya untuk “mencarok” atau melukai lawan oleh sebab perselisihan karena lawan
jenis, atau persoalan keluarga yang turun-temurun. Namun lebih kepada ilmu
pengetahuan dan Matahari akan
mengesahkan… yaitu masa depan yang cerah dan jauh lebih baik ketika kita
dapat lebih memanfaatkan ilmu pengetahuan tersebut.
Pada kalimat ia jadi mengerti : wangi yang menunggunya di seberang. Tempat seberang yang
dimaksud adalah kepulauan Jawa yang berseberangan dengan Madura, dimana Pulau
Jawa dianggap lebih subur, tanahnya tidak berwarna merah dan gersang seperti di
Madura, dimana keadaan ekonomi lebih menguntungkan masyarakatnya, itulah yang
dimaksud wangi oleh si pengarang.
Meski ia menyesal namun gelombang masih ditolak singgah ke dalam dirinya. Mengandung artian
bahwa rasa iri hati dan dendam dengan kelebihan
yang dimiliki pulau seberang namun
dia menyesal memiliki perasaan tersebut karena tidak ada gunanya dan berusaha
mengendalikannya.
Dalam
puisi yang berjudul “Celurit Emas”
sesungguhnya penyair membuat dengan unsur-unsur yang sangat menarik
karena didalamnya memiliki unsur kebudayaan dan
keilmuan namun disajikan dalam gaya bahasa yang berbeda.
Dalam puisi celurit emas ini terdapat beberapa
kata yang menarik, hal tersebut dikarenakan adanya kata – kata seperti: bebunga, bergila ,bersenyuman itu bukan lah kata – kata atau bahasa yang umum kita jumpai dalam bahasa sehari – hari kita. Karena kosakata
tersebut selain dimulai dengan ber-,
namun pada kata bebunga, huruf r yang dihilangkan menjadi pemaknaan
sendiri. Karena beberapa
kata tadi adalah kata – kata pengulangan yang khas dan dapat kita
jumpai di daerah Madura, dari hal tersebut kita dapat mengetahui bahwa Zawawi juga dipengaruhi
oleh lingkungan sosialnya. Termasuk dengan pengulangan Roh – roh, pura – pura, nisan – nisan,
halaman – halaman mengandung maksud untuk mempertegas makna puisi
tersebut. Selain
itu pemilihan kata dalam puisi ini juga unik dan juga terdapat pemakaian bahasa
kiasan, dari bermacam – macam hal yang kita temukan dalam puisi ini salah satu
unsure yang kita rasakan dan menjadikannya berbeda dari puisi lain adalah Zawawi
turut membawa unsur budaya Madura sebagai salah satu ciri khasnya melalui
karyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar